Masa SD: Awal Luka dan Kesepian
Saat duduk di bangku SD, aku dikenal sebagai anak yang gemuk, berkulit gelap, dan bertubuh pendek. Suatu hari, salah satu temanku mulai mengejekku dengan memanggilku “Tapasya”—tokoh antagonis di film India Utaran.
Ironisnya, jika dipikir-pikir, sifat jahat dan tak berhatinya justru lebih cocok disematkan padanya daripada padaku. Aku tidak punya banyak teman. Bahkan sahabat yang menemani sejak kelas 1 SD pun menjauh, memilih bergabung dengan kelompok lain. Aku sendirian.

Suatu hari, mereka mengetahui bahwa aku memiliki paman yang mengidap gangguan kejiwaan. Di belakang sekolah, mereka menyudutkanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan. Tatapan menghina itu… hingga kini masih terpatri jelas di ingatanku. Tak ada yang mau berteman denganku, kecuali saat mereka membutuhkan sesuatu.
Mereka memanfaatkan kepintaranku untuk mengerjakan tugas-tugas dari guru, atau meminta jawaban ujian. Di masa itu, aku memang termasuk anak yang pintar, tetapi semua itu hanya membuat mereka datang padaku demi keuntungan mereka sendiri—bukan karena benar-benar ingin berteman.
Masa SMP: Persaingan yang Mengguncang
Memasuki SMP, kenyataan baru menamparku. Kepintaran yang dulu kuandalkan di SD seketika terasa kecil di hadapan teman-teman baru. Saat pendaftaran PPDB, namaku bahkan berada di urutan terakhir dalam data penerimaan.
Bukan ejekan yang kuterima kali ini, melainkan persaingan nilai yang sangat ketat. Hampir setiap ujian terasa seperti medan perang, dan aku nyaris terpental jauh dari yang lain. Di sinilah aku sadar: kepintaranku yang dulu tidak lagi cukup. Aku berada di tengah orang-orang yang jauh lebih unggul—lulusan sekolah-sekolah terbaik. Aku harus mengubah cara belajarku, memperbaiki strategi, dan membangun mental yang lebih kuat untuk bertahan.
Masa SMK: Puncak Perjuangan
Waktu berlalu, dan tibalah aku di SMK. Lagi-lagi, saat data PPDB diumumkan, namaku berada di urutan paling akhir. Nilai masukku yang rendah membuatku hampir kehilangan kepercayaan diri. Tapi tanpa kusadari, semua kerja keras dan pembelajaran di SMP mulai
menunjukkan hasilnya.

Sedikit demi sedikit, aku unggul dari yang lain. Di jurusan yang kuambil, aku menjadi satu-satunya yang memiliki kemampuan paling menonjol. Aku tak lagi mengincar juara kelas semata—targetku lebih tinggi: juara 1 paralel di jurusan.
Dan aku berhasil.
Di hari kelulusan, namaku dipanggil di deretan juara 1 paralel masing-masing jurusan. Saat itu, aku berdiri di panggung dengan senyum penuh kebanggaan. Semua masa-masa kelam di SD, semua tekanan di SMP, kini terbayar lunas.
Penutup: Dari Luka Menjadi Kekuatan
Perjalananku mengajarkan satu hal penting: masa lalu tidak pernah menentukan akhir kita. Ejekan, hinaan, atau rendahnya nilai saat memulai bukanlah vonis selamanya. Yang menentukan adalah tekad, kerja keras, dan keberanian untuk terus mencoba.
Aku pernah berada di titik terendah—dijauhi, disepelekan, bahkan dianggap tak mampu. Tapi kini aku berdiri membuktikan bahwa luka yang dulu menghancurkan hatiku bisa menjadi bahan bakar yang mendorongku untuk meraih puncak.
Untuk siapa pun yang sedang merasa kecil dan tak berdaya: teruslah berusaha. Karena suatu hari nanti, kamu bisa berdiri di panggung kemenanganmu sendiri, dan berkata dengan lantang, “Aku berhasil.”
-Ara –